BAB
I
PENDAHULUAN
Istilah
“gerakan sempalan” beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di
Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang
dianggap “aneh”, alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian
mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata “sekte”
atau “sektarian“,[1]
kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, seperti protes terhadap dan
pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku,
klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Di Indonesia ada kecenderungan
untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan
keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu, sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau
gerakan oposisi politik. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah
dicap “sempalan“, ternyata memang telah dilarang atau
sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama. Beberapa contoh yang terkenal
adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin‘nya
Warsidi (Lampung), Syi’ah, Baha’i, “Inkarus Sunnah“,
Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh,
aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat
Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Serangkaian aliran
dan kelompok ini, kelihatannya, sangat beranekaragam. Apakah ada kesamaan
antara semua gerakan ini? Dan apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan tersebut? Tanpa pretensi memberikan jawaban tuntas atas
pertanyaan ini, makalah ini berusaha menyoroti gerakan sempalan dari sudut
pandang sosiologi agama.[2]
BAB II
PEMBAHASAN[3]
- Adakah Definis Gerakan Sempalan?
"gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang
"ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena
gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari
ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah
"sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang
"sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan
"mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus ummat Islam Indonesia masa
kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang
berwibawa seperti terutama MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah
NU, dan sebagainya.
Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif,
untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan
membahayakan. Akan tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk
kajian selanjutnya. Misalnya, apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru
merupakan gerakan sempalan setelah ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam
contoh dari negara tetangga, berbagai aliran agama yang pernah dilarang oleh
Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh
Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya. Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran
tersebut termasuk yang sempalan? Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang
bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang "sempalan" pun
bersifat kontekstual.
Pengamatan terakhir ini boleh
jadi menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang Islam yang
"concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak.
Dalam visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan
"mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah
sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita menengok
awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam
modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama
tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah,
kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justeru
menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk mendefinisikan dan memahami
gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai
kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih
benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan
kebenaran faham atau pendirian mereka. Karena itu, kriteria yang akan saya
gunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Gerakan sempalan yang
tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari
"mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan
seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.
Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan"
bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau
mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat,
mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana
diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam
faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak
hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang
tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan
faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.
Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah
pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh
penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang
sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan".
Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor
politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak
dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah
mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para
lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada
awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) yang dengan
tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama,
dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan. Sejak kapan mereka tidak bisa
lagi dianggap gerakan sempalan dan menjadi bagian dari ortodoksi? Di bawah ini
akan dibahas beberapa faktor yang mungkin berperan dalam proses perkembangan
suatu sekte menjadi denominasi. Untuk sementara, dapat dipastikan
bahwa penganut gerakan reformis pada umumnya tidak berasal dari kalangan sosial
yang marginal, namun justru dari orang Islam kota yang sedang naik posisi
ekonomi dan status sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan sejarah telah
terjadi proses akomodasi, saling menerima, antara kalangan reformis dan
tradisional.
Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang
berpotensi menjadi "ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun
yang akan meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut
di Indonesia. Perbandingan antara gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah
Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas, terasa sangat tidak tepat. Orang
Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan tersebut, barangkali),
bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa sebetulnya perbedaan
ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung kebenaran, sedangkan
yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap dirinya sebagai
pihak yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana penilaian kita
obyektif dalam hal ini?
Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya
dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang yang marginal secara sosial dan
ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak semua gerakan sempalan
demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah Indonesia,
malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf wahdatul wujud terdapat
pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan pandai
mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash
untuk menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah
dalam perdebatan dengan ulama yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya
dalam pandangan mereka sendiri dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap
"sempalan" karena mereka merupakan minoritas yang secara sengaja
memisahkan diri dari mayoritas ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat
perbedaan fundamental antara mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa
berdirinya. Dan perlu kita catat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil
menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham dominan baru kira-kira lima abad
belakangan![4]
- Klasifikasi gerakan sempalan
Untuk menganalisa fenomena gerakan sempalan secara lebih jernih, mungkin
ada baiknya kalau kita merujuk kepada kajian sosiologi agama yang sudah ada
untuk melihat apakah ada temuan yang relevan untuk situasi Indonesia. Hanya
saja, karena sosiologi agama adalah salah satu disiplin ilmu yang lahir dan
dikembangkan di dunia Barat, sasaran kajiannya lebih sering terdiri dari umat
Kristen ketimbang penganut agama-agama lainnya. Oleh karena, itu belum tentu a
priori temuannya benar-benar relevan untuk dunia Islam. Beberapa konsep
dasar yang dipakai barangkali sangat tergantung pada konteks budaya Barat.
Mengingat keterbatasan ini, biarlah kita melihat apa saja telah ditemukan
mengenai muncul dan berkembangnya gerakan sempalan pada waktu dan tempat yang lain.
Dua sosiolog agama Jerman mempunyai pengaruh besar terhadap studi mengenai sekte
selama abad ini, mereka adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal
dengan tesisnya mengenai peranan sekte-sekte protestan dalam perkembangan semangat
kapitalisme di Eropa, dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan
karismatik. Troeltsch, teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber
dalam studinya mengenai munculnya gerakan sempalan di Eropa pada abad
pertengahan.[5]
Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan dua jenis wadah umat beragama
yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja
dan tipe sekte. Contoh paling murni dari tipe gereja barangkali adalah
Gereja Katolik abad pertengahan, tetapi setiap ortodoksi (dalam arti sosiologis
tadi) yang mapan mempunyai aspek tipe gereja. Organisasi- organisasi tipe
gereja biasanya berusaha mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala
aspek kehidupan. Sebagai wadah yang established (mapan), mereka
cenderung konservatif, formalistik, dan berkompromi dengan penguasa serta elit
politik dan ekonomi. Di dalamnya terdapat hierarki yang ketat, dan ada golongan
ulama yang mengklaim monopoli akan ilmu dan karamah, orang awam tergantung
kepada mereka.
Tipe sekte,
sebaliknya, selalu lebih kecil dan hubungan antara sesama anggotanya biasanya
egaliter. Berbeda dengan tipe gereja, keanggotaannya bersifat sukarela: orang
tidak dilahirkan dalam lingkungan sekte, tetapi masuk atas kehendak sendiri.
Sekte-sekte biasanya berpegang lebih keras (atau kaku) kepada prinsip, menuntut
ketaatan kepada nilai moral yang ketat, dan mengambil jarak dari penguasa dan
dari kenikmatan material. Sekte-sekte biasanya mengklaim bahwa ajarannya lebih murni,
lebih konsisten dengan wahyu Ilahi. Mereka cenderung membuat pembedaan tajam
antara para penganutnya yang suci dengan orang luar yang awam dan penuh
kekurangan serta dosa. Seringkali, kata Troeltsch, sekte- sekte muncul
pertama-tama di kalangan yang berpendapatan dan pendidikan rendah, dan baru
kemudian meluas ke kalangan lainnya. Mereka sering cenderung memisahkan diri
secara fisik dari masyarakat sekitarnya, dan menolak budaya dan ilmu
pengetahuan sekuler.
Selain sekte, Troeltsch menyoroti suatu jenis gerakan lagi yang muncul sebagai
oposisi terhadap gereja (atau ortodoksi yang lain), yaitu gerakan mistisisme
(tasawwuf). Sementara sekte memisahkan diri dari gereja karena mereka
menganggap gereja telah kehilangan semangat aslinya dan terlalu berkompromi,
gerakan- gerakan mistisisme merupakan reaksi terhadap formalitas dan
"kekeringan" gereja. Gerakan mistisisme, menurut Troeltsch,
memusatkan perhatian kepada penghayatan ruhani-individual, terlepas dari
sikapnya terhadap masyarakat sekitar. (Oleh karena itu, Troeltsch juga memakai
istilah "individualisme religius"). Penganutnya bisa saja dari
kalangan establishment, bisa juga dari kalangan yang tak setuju dengan
tatanan masyarakat yang berlaku. Mereka biasanya kurang tertarik kepada ajaran
agama yang formal, apalagi kepada lembaga-lembaga agama (gereja, dan sebagainya).
Yang dipentingkan mereka adalah hubungan langsung antara individu dan Tuhan
(atau alam gaib pada umumnya).
Analisa
Troeltsch ini berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah gereja di Eropa, dan
tidak bisa diterapkan begitu saja atas budaya lain. Organisasi "tipe
gereja" tidak terdapat dalam setiap masyarakat, tetapi tanpa kehadiran
suatu gereja pun sekte bisa saja muncul. Ketika tadi saya bertanya
"gerakan sempalan itu menyempal dari apa?", saya sebetulnya mencari
apakah ada sesuatu wadah umat yang punya ciri tipe gereja, dalam
terminologi Troeltsch. Ortodoksi Islam Indonesia seperti diwakili oleh MUI dan
sebagainya, tentu saja tidak sama dengan Gereja Katolik abad pertengahan; ia
tidak mempunyai kekuasaan atas kehidupan pribadi orang seperti gereja.
Situasi di Amerika Serikat masa kini, sebetulnya, sama saja. Hampir-hampir
tidak ada wadah tipe gereja versi Troeltsch, yang begitu dominan terhadap
seluruh masyarakat. Yang ada adalah sejumlah besar gereja-gereja Protestan
(sering disebut denominasi), yang berbeda satu dengan lainnya dalam
beberapa detail saja, dan tidak ada di antaranya yang dominan terhadap yang
lain. Denominasi-denominasi Protestan ini mempunyai baik ciri tipe sekte
maupun ciri tipe gereja. Gerakan mistisisme, seperti yang digambarkan
Troeltsch, beberapa dasawarsa terakhir ini sangat berkembang di dunia Barat
dengan mundurnya pengaruh gereja. Para penganutnya seringkali dari kalangan
yang relatif berada dan berpendidikan tinggi, bukan dari lapisan masyarakat
yang terbelakang.[6]
Kajian berikut
yang sangat berpengaruh adalah studi Richard Niebuhr, sosiolog agama dari
Amerika Serikat, mengenai dinamika sekte dan lahirnya denominasi.[7]
Teori yang diuraikan dalam karya ini sebetulnya agak mirip teori sejarah Ibnu
Khaldun. Niebuhr melihat bahwa banyak sekte, yang pertama-tama lahir sebagai
gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja (dan seringkali juga
terhadap negara), lambat laun menjadi lebih lunak, mapan, terorganisir rapih
dan semakin formalistik. Setelah dua-tiga generasi, aspek kesukarelaan sudah
mulai menghilang, semakin banyak anggota yang telah lahir dalam lingkungan
sekte sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit-bibit hierarki
internal telah ditanam, kalangan pendeta- pendeta muncul, yang mulai mengklaim
bahwa orang awam memerlukan jasa mereka. Dengan demikian bekas sekte itu sudah
mulai menjadi semacam gereja sendiri, salah satu di antara sekian banyak
denominasi. Dan lahirlah, sebagai reaksi, gerakan sempalan baru, yang berusaha
menghidupkan semangat asli... dan lambat laun berkembang menjadi denominasi...
dan demikianlah seterusnya.
Teori Niebuhr ini sekarang dianggap terlalu skematis; sekte- sekte tidak selalu
menjadi denominasi. Niebuhr bertolak dari pengamatannya terhadap situasi Amerika
Serikat yang sangat unik; semua gereja di sana memang merupakan denominasi yang
pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain. Siklus perkembangan
yang begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Amerika
Serikat terdiri dari para immigran, yang telah datang gelombang demi gelombang.
Setiap gelombang pendatang baru menjadi lapisan sosial paling bawah; dengan
datangnya gelombang pendatang berikut, status sosial mereka mulai naik.
Pendatang baru yang miskin seringkali menganut sekte-sekte radikal; dengan
kenaikan status mereka sekte itu lambat laun menghilangkan radikalismenya dan
menjadi sebuah denominasi baru.
Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger,
merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte dan denominasi, bahwa
sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte,
tetap terpisah dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan
permasalahan moral pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu
berkaitan dengan dasar sosial kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung
untuk merekrut anggotanya dari lapisan miskin dan tertindas. Dengan demikian
hubungan sekte ini dengan negara dan denominasi yang mapan akan tetap tegang.
Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk menarik penganut dari kalangan
menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan, dan diterima dalam, status
quo.[8]
Pengamatan ini, agaknya, relevan untuk memahami perbedaan antara Al Irsyad atau
Muhammadiyah di satu sisi dan sebagian besar gerakan sempalan masa kini di sisi
lainnya.
Klasifikasi
sekte dalam beberapa jenis dengan sikap dan dinamika masing-masing dikembangkan
lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat
tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat.
Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar.[9]
Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang
nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model
untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih
dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh
gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.
Tipe pertama adalah sekte conversionist, yang perhatiannya terutama
kepada perbaikan moral individu. Harapannya agar dunia akan diperbaiki kalau
moral individu-individu diperbaiki, dan kegiatan utama sekte ini adalah usaha
untuk meng-convert, men- tobat-kan orang luar. Contoh tipikal di
dunia Barat adalah Bala Keselamatan; di dunia Islam, gerakan dakwah seperti Tablighi
Jamaat mirip tipe sekte ini.
Tipe kedua, sekte revolusioner, sebaliknya mengharapkan perubahan
masyarakat secara radikal, sehingga manusianya menjadi baik. Gerakan
messianistik (yang menunggu atau mempersiapkan kedatangan seorang Messias,
Mahdi, Ratu Adil) dan millenarian (yang mengharapkan
meletusnya zaman emas) merupakan contoh tipikal. Gerakan ini secara implisit
merupakan kritik sosial dan politik terhadap status quo, yang dikaitkan
dengan Dajjal, Zaman Edan dan sebagainya. Gerakan messianistik,
seperti diketahui, banyak terjadi di Indonesia pada zaman kolonial -- dan
memang ada sarjana yang menganggap bahwa gerakan jenis ini hanya muncul sebagai
reaksi terhadap kontak antara dua budaya yang tidak seimbang.[10]
Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula
revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia
sekitar tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau
keselamatan ruhani penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka
mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson
menyebut gerakan tipe ini introversionis. Gerakan Samin di Jawa
merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi introversionis.
Tipe keempat, yang dinamakan Wilson manipulationist atau gnostic
("ber-ma'rifat") mirip sekte introversionis dalam hal
ketidakpeduliannya terhadap keselamatan dunia sekitar. Yang membedakan adalah
klaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus, yang biasanya dirahasiakan dari orang
luar. Untuk menjadi anggota aliran seperti ini, orang perlu melalui suatu
proses inisiasi (tapabrata) yang panjang dan bertahap. Tipe ini biasanya
menerima saja nilai-nilai masyarakat luas dan tidak mempunyai tujuan yang lain.
Klaim mereka hanya bahwa mereka memiliki metode yang lebih baik untuk mencapai
tujuan itu. Theosofie dan Christian Science merupakan dua contoh
jenis sekte ini di dunia Barat. Di Indonesia, ada banyak aliran kebatinan yang
barangkali layak dikelompokkan dalam kategori ini; demikian juga kebanyakan
tarekat, yang mempunyai amalan-amalan khusus dan sistem bai'at.
Tipe lainnya adalah sekte-sekte thaumaturgical, yaitu yang berdasarkan
sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan atas alam gaib.
Pengobatan secara batin, kekebalan, kesaktian, dan kekuatan
"paranormal" lainnya merupakan daya tarik aliran-aliran jenis ini,
dan membuat para anggotanya yakin akan kebenarannya. Di Indonesia, unsur-unsur
thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan dan sekte Islam,
seperti Muslimin-Muslimat (di Jawa Barat).
Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi
sosial dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah
dan ibadah tanpa pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan
sekte-sekte ini dari ortodoksi bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit,
tetapi penekanannya kepada konsistensi dengan ajaran agama yang murni (termasuk
yang bersifat sosial).
Gerakan utopian, tipe ketujuh, berusaha menciptakan suatu komunitas
ideal di samping, dan sebagai teladan untuk, masyarakat luas. Mereka menolak
tatanan masyarakat yang ada dan menawarkan suatu alternatif, tetapi tidak
mempunyai aspirasi mentransformasi seluruh masyarakat melalui proses revolusi. Tetapi
mereka lebih aktivis daripada sekte introversionis; mereka berdakwah melalui
contoh teladan komunitas mereka. Komunitas utopian mereka seringkali merupakan
usaha untuk menghidupkan kembali komunitas umat yang asli (komunitas Kristen
yang pertama, jami'ah Madinah), dengan segala tatanan sosialnya. Di Indonesia,
kelompok Isa Bugis (dulu di Sukabumi, sekarang di Lampung) merupakan salah satu
contohnya, Darul Arqam Malaysia dengan "Islamic Village"nya di
Sungai Penchala adalah contoh yang lain.
- Gerakan sempalan Islam di Indonesia dan tipologi sekte
Dalam tipologi sekte di atas ini,
Wilson sudah menggambarkan suatu spektrum aliran agama yang lebih luas daripada
spekrum gerakan sempalan Indonesia yang disebut di atas. Meski demikian,
beberapa gerakan di Indonesia agak sulit diletakkan dalam tipologi ini.
Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap dunia sekitar, namun terdapat
berbagai gerakan di Indonesia yang tidak mempunyai sikap sosial tertentu dan
hanya membedakan diri dari "ortodoksi" dengan ajaran atau
amalan yang lain.
Satu tipe terdiri dari aliran-aliran kebatinan atau tarekat dengan ajaran yang
"aneh", yang masih sering muncul di hampir setiap daerah. Sebagian
aliran ini memang mirip sekte gnostic, dengan sistem bai'at,
hierarki internal dan inisiasi bertahap dalam "ilmu" rahasia,
sebagian juga memiliki aspek thaumaturgical, dengan menekankan pengobatan
dan kesaktian, tetapi aspek thaumaturgical jarang menjadi intisari aliran
tersebut seperti dalam gerakan pengobatan ruhani di Amerika Serikat.[11]
Sebagian besar tidak mempunyai ciri sosial yang menonjol, tidak ada penolakan
terhadap norma-norma masyarakat luas. Mereka tidak mementingkan aspek sosial
dan politik dari ajaran agama, melainkan kesejahteraan ruhani, ketentraman
dan/atau kekuatan gaib individu. Penganutnya bisa berasal dari hampir semua
lapisan masyarakat, tetapi yang banyak adalah orang yang termarginalisir oleh
perubahan sosial dan ekonomi.
Suatu jenis lain terdiri dari gerakan pemurni, yang sangat menonjol
dalam sejarah Islam: gerakan yang mencari inti yang paling asli dari agamanya,
dan melawan segala hal (ajaran maupun amalan) yang dianggap tidak asli.
Beberapa gerakan pemurni sekaligus adalah gerakan reform sosial, seperti
Muhammadiyah, tetapi tidak semuanya berusaha mengubah masyarakat. Gerakan
pemurni yang paling tegas di Indonesia, agaknya, Persatuan Islam (Persis).
Dalam konteks ini perlu kita sebut kelompok yang dikenal dengan nama Inkarus
Sunnah, karena mereka juga mengklaim ingin mempertahankan hanya sumber
Islam yang paling asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan
keasliannya hadits, dan menganggap hanya Qur'an saja sebagai sumber asli. Oleh
karena itu, nama yang mereka sendiri pakai adalah Islam Qur'ani. Namun
dalam kasus terakhir ini, saya tidak yakin apakah mereka layak disebut gerakan
sempalan; mereka tidak cenderung untuk memisahkan diri dari ummat lainnya, dan
saya belum jelas apakah mereka merupakan gerakan terorganisir.
Gerakan Islam Jama'ah alias Darul Hadits juga merupakan suatu
kasus yang tidak begitu mudah digolongkan. Dengan penekanannya kepada hadits
(walaupun yang dipakai, konon, hadits-hadits terpilih saja), gerakan ini
mengingatkan kepada gerakan pemurni (ini mungkin menjelaskan daya tariknya bagi
orang berpendidikan modern). Namun beberapa ciri jelas membedakannya dari
gerakan pemurni atau pembaharu dan membuatnya mirip sekte manipulationist /
gnostic. Dari segi
organisasi internal, Islam Jama'ah mirip tarekat atau malahan gerakan
militer, dengan bai'at dan pola kepemimpinan yang otoriter dan sentralistis (amir).
Tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya, dan tidak ada
cita-cita politik atau sosial tertentu. Unsur protes tidak terlihat dalam gerakan ini; mereka hanya sangat
eksklusif dan menghindar dari berhubungan dengan orang luar. Faktor yang juga
perlu disebut adalah kepemimpinan karismatik.[12]
Pendiri dan amir pertama, Nur Hasan Ubaidah, dikenal sebagai ahli
ilmu kanuragan dan kadigdayan yang hebat, dan dalam pandangan
orang banyak, itulah yang membuat penganutnya tertarik dan terikat pada gerakan
ini. Penganutnya pada umumnya tidak berasal dari kalangan bawah tetapi dari
kalangan menengah; namun banyak diantara mereka, agaknya, pernah mengalami
krisis moral sebelum masuk gerakan ini.
Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang
sekarang juga sudah mempunyai cabang di Indonesia) sedikit mirip Islam Jama'ah;
gerakan ini sangat tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari
Muhammad. Tetapi sikap Darul Arqam terhadap dunia sekitar sangat berbeda:
mereka ingin mengubah masyarakat dan menawarkan model alternatif, yang
dicontohkan dalam "Islamic Village" mereka. Dengan kata lain, inilah
suatu gerakan utopian; melalui dakwah aktif mereka terus
mempropagandakan alternatif mereka. Kegiatan sosialnya terbatas pada kalangan
mereka sendiri; selain usaha konversi (dakwah: memasukkan penganut
baru), mereka tidak banyak berhubungan dengan masyarakat sekitar -- walaupun
dalam praktek mereka masih tergantung pada masyarakat luar untuk pendapatan
mereka. Hubungan di dalam kelompok, antara sesama anggota, hangat dan intensif;
kontrol sosial dinatara mereka juga tinggi. Namun, mereka menjauhkan diri
dari ummat lainnya, sehingga sering dituduh terlalu eksklusif. Di samping sikap
utopian ini, Darul Arqam juga merupakan gerakan messianis; mereka
meyakini kedatangan Mahdi dalam waktu sangat dekat, dan mempersiapkan
diri untuk peranan di bawah kepemimpinan Mahdi nanti.[13]
Beberapa tahun terakhir ini aspek messianis ini telah menjadi semakin menonjol;
gerakan ini lambat laun bergeser dari utopian menjadi revolusioner.
Gerakan yang lebih murni aspek utopiannya adalah yang disebut gerakan
Usroh di Indonesia. Saya tidak yakin apakah ini memang suatu gerakan
terorganisir, dengan kepemimpinan dan strategi tertentu. Kesan saya, gerakan
ini adalah suatu trend, suatu pola perkumpulan yang cepat tersebar,
tanpa banyak koordinasi antara sesama usroh. Ini memang suatu gerakan
protes politik (walaupun perhatiannya terutama kepada urusan agama dalam arti
sempit, tidak kepada isu- isu politik umum). Namun mereka tidak berharap
mengubah tatanan masyarakat atau sistem politik secara langsung; para usroh
("keluarga") merupakan komunitas yang menganggap diri mereka sebagai
alternatif yang lebih Islami.
Ahmadiyah (Qadian), Baha'i
dan Syi'ah tidak lahir dari rahim kalangan umat Islam
Indonesia sendiri, tetapi "diimport" dari luar negeri ketika sudah
mapan. Ketiganya merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain
sebelum masuknya ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis,
namun kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan
semangat awalnya. Pemimpin karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah,
Duabelas Imam) tetap merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar
biasa. Dalam Syi'ah, semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi
(seperti terakhir terlihat di Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang
merupakan daya tarik utama faham Syi'ah bagi para pengagumnya di
Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah menampilkan diri (di India-
Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai sekte reformis,[14]
yang belakangan menjadi sangat introversionis dan menghindar dari kegiatan di
luar kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i juga mempunyai beberapa
penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal dari kalangan Islam,
sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan sempalan Islam
(seperti halnya di negara aslinya, Iran).
Tiga gerakan ini memain
peranan sangat berlainan di Indonesia, dan meraih penganut dari kalangan yang
berbeda. Gerakan Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia mulai sebagai gerakan
protes, baik terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama Sunni;
pelopornya adalah pengagum revolusi Islam Iran. Kepedulian sosial (perhatian
terhadap mustadl'afin) dan politik ditekankan. Dalam perkembangan
berikut, penekanan kepada dimensi politik Syi'ah semakin dikurangi, dan minat
kepada tradisi intelektual Syi'ah Iran ditingkatkan.[15]
Dengan kata lain, gerakan Syi'ah Indonesia sudah bukan gerakan sempalan
revolusioner lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Tetapi gerakan
ini tetap berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir.
Di antara semua gerakan sempalan masa kini, hanya gerakan Syi'ah yang agaknya
mempunyai potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping
gerakan pemurni dan pembaharu yang Sunni.
BAB III
PENUTUP
gerakan sempalan Islam di Indonesia biasanya tidak muncul di tengah-tengah
kalangan umat, tetapi di pinggirannya. Sebagiannya mungkin bisa dilihat sebagai
aspek dari proses pengislaman yang sudah mulai berlangsung enam atau tujuh abad
yang lalu dan masih terus berlangsung. Sebagian juga (terutama gerakan yang
"radikal") bisa dilihat sebagai "komentar" terhadap
ortodoksi yang telah ada, dengan usul koreksi terhadap hal-hal yang dianggapnya
kurang memadai. Selama dialog antara ortodoksi dan gerakan sempalan masih bisa
berlangsung, fenomena ini mempunyai fungsi positif. Terputusnya komunikasi dan
semakin terasingnya gerakan sempalan tadi mengandung bahaya. Kalau ortodoksi
tidak responsif dan komunikatif lagi dan hanya bereaksi dengan melarang-larang
(atau dengan diam saja), ortodoksi sendiri merupakan salah satu sebab
penyimpangan "ekstrim" ini.
Sumber Referensi:
Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam
Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in
Indonesian Islam: Social and cultural background"), dalam:
http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/23/gerakan-sempalan-di-kalangan-ummat-islam-indonesia-latar-belakang-sosial-budaya/
[1] Istilah ini konon pertama kali dipakai oleh
Abdurrahman Wahid sebagai pengganti kata “splinter group“, kata yang
tidak mempunyai konotasi khusus aliran agama, tetapi dipakai untuk kelompok
kecil yang memisahkan diri (menyempal) dari partai atau organisasi sosial dan
politik. Untuk
“splinter group” yang merupakan aliran agama, kata “sekte”
lazim dipakai.
[2] Artikel ini berdasarkan
makalah Martin van Bruinessen untuk seminar “Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat
Islam Indonesia”, yang diselenggerakan oleh Yayasan Kajian Komunikasi Dakwah di
Jakarta, 11 Februari 1989, kemudian diperbaiki dengan masukan dari diskusi
dengan para peserta program S-2 di IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) yang ikut
kuliah bersamanya tentang Sosiologi Agama.
http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/23/gerakan-sempalan-di-kalangan-ummat-islam-indonesia-latar-belakang-sosial-budaya/
[4] Seperti diketahui, Syi’ah
Itsna’asyariyah sekarang merupakan ortodoksi di Iran. Namun sampai
abad ke-10 hijriyah (abad ke-16 Masehi), mayoritas penduduk Iran masih menganut
madzhab Syafi’i. Faham ini baru menjadi dominan setelah dinasti Safawiyah
memproklamirkan Syi’ah sebagai agama resmi negara dan mendatangkan ulama Syi’i
dari Irak Selatan.
[5] Ernst Troeltsch, The Social Teachings of the Christian Churches. London, 1931 (aslinya diterbitkan
dalam bahasa Jerman pada tahun 1911). Lihat juga pengamatan Weber tentang
sekte-sekte protestan di Amerika Serikat: "Sekte-sekte protestan dan
semangat kapitalisme", dalam Taufik Abdullah, editor, Agama, Etos Kerja
dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979, hal. 41-78.
[6] Pengamatan tajam dan
menarik tentang fenomena sekte dan mistisisme di Amerika Serikat masa kini
(dengan analisa yang bertolak dari tipologi Troeltsch) terdapat dalam: Robert
Bellah dkk, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American
Life. New York: Harper & Row, 1986, khususnya hal. 243-8.
[7] H. Richard Niebuhr, The Social Sources of
Denominationalism. New York:
Holt, 1929
[8] Lihat: J. Milton Yinger, Religion, Society and the
Individual. New York:
MacMillan Co., 1957, khususnya hal. 147-55.
[9] Salah satu tulisannya, "Tipologi sekte",
telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam: Roland Robertson
(ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1988,
hal. 431-462. Sayangnya, terjemahannya mengandung banyak kesalahan sehingga
tulisan ini sulit difahami. Untuk lebih lengkap dan jelas, lihat bukunya Sects
and Society (Heinemann / California University Press, 1961).
[10] Beberapa tulisan Sartono Kartodirdjo merupakan kajian
penting tentang gerakan millenarian di Indonesia, antara lain "Agrarian
Radicalism in Java: its Setting and Development", dalam: Claire Holt (ed),
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca:
Cornell University Press, 1972, hal. 71-125. Teori umum dan beberapa kasus
penting dibahas dalam: Michael Adas, Prophets of Rebellion: Millenarian
Protest Movements against the European Colonial Order. University of North Carolina
Press, 1979 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil: Tokoh dan
Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali 1988).
[11] Ada
pengamatan menarik bahwa beberapa aliran kebatinan pada zaman revolusi
mengembangkan latihan kesaktian (silat dengan tenaga dalam, "ilmu
kontak", kekebalan dan sebagainya), yang pada masa kemudian dianggap
terlalu kasar dan digantikan dengan latihan kejiwaan yang lebih halus. Lihat:
Paul Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism, Ph.D. thesis,
University of Wisconsin, Madison, 1980, bab 5. Berbagai tarekat juga
(terutama Qadiriyah) menunjukkan aspek thaumaturgical pada masa revolusi,
yang kemudian ditinggalkan lagi.
[12] istilah karismatik di sini dalam arti asli
kata: baik pemimpin karismatik maupun pengikutnya percaya bahwa ia dianugerahi karamah
atau kesaktian.
[13] Mereka menganggap almarhum Syeikh Muhammad bin
Abdullah Suhaimi (seorang muslim Jawa di Singapura, mantan guru dari Ustaz
Ashaari Muhammad) sebagai Mahdi. Walaupun sudah meninggal dunia, beliau diharapkan
akan datang dalam waktu dekat. Syeikh Suhaimi konon telah bertemu dengan Nabi
dalam keadaan jaga, dan menerima Aurad Muhammadiyah, yang diamalkan
Darul Arqam, dari Beliau. Lihat: Ustaz Hj. Ashaari Muhammad, Aurad
Muhammadiyah, Pegangan Darul Arqam. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1986; juga:
Ustaz Ashaari Muhammad, Inilah pandanganku. Kuala Lumpur: Penerangan Al
Arqam, 1988
[14] Ahmadiyah pernah memainkan peranan penting dalam
proses pengislaman (atau "pen-santri-an") kaum terdidik di Indonesia pada
masa penjajahan. Dalam Jong Islamieten Bond dan Sarekat Islam pengaruhnya
sangat berarti. Baru setelah organisasi modernis lainnya berkembang terus,
Ahmadiyah menghilangkan fungsinya sebagai pelopor reformisme dan rasionalisme
dalam Islam. Berkembangnya kritik semakin keras terhadap faham kenabian
Ahmadiyah Qadian bisa dilihat sebagai simptom konsolidasi ortodoksi Islam di Indonesia.
[15] Pergeseran ini, antara
lain, terlihat dalam urutan terjemahan karya penulis Syi'ah: Ali Syari'ati
disusul oleh Murtadha Muthahhari dan kemudian Baqir Al-Shadr. Khomeini
pertama-tama dilihat sebagai pemimpin revolusi saja, kemudian juga sebagai ahli
'irfan (tasawwuf dan metafisika). Sekarang diskusi-diskusi lebih sering
berkisar sekitar filsafat atau persoalan 'ishmah (apakah para Imam
Duabelas ma'shum?) daripada situasi politik Iran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar