Kamis, 25 April 2013

AGAMA SEMPALAN



BAB I
PENDAHULUAN

Istilah “gerakan sempalan” beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap “aneh”, alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata “sekte” atau “sektarian“,[1] kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu, sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah dicap “sempalan“, ternyata memang telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama. Beberapa contoh yang terkenal adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin‘nya Warsidi (Lampung), Syi’ah, Baha’i, “Inkarus Sunnah“, Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Serangkaian aliran dan kelompok ini, kelihatannya, sangat beranekaragam. Apakah ada kesamaan antara semua gerakan ini? Dan apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan tersebut? Tanpa pretensi memberikan jawaban tuntas atas pertanyaan ini, makalah ini berusaha menyoroti gerakan sempalan dari sudut pandang sosiologi agama.[2]




BAB II
PEMBAHASAN[3]

  1. Adakah Definis Gerakan Sempalan?
"gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang "sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus ummat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.
            Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif, untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan membahayakan. Akan tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya, apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran agama yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya. Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang sempalan? Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang "sempalan"  pun bersifat kontekstual.
            Pengamatan terakhir ini boleh jadi menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justeru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
            Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk mendefinisikan dan memahami gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan kebenaran faham atau pendirian mereka. Karena itu, kriteria yang akan saya gunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Gerakan sempalan yang tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.
            Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan  protes sosial atau politik.
            Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan". Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) yang dengan tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama, dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan. Sejak kapan mereka tidak bisa lagi dianggap gerakan sempalan dan menjadi bagian dari ortodoksi? Di bawah ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin berperan dalam proses perkembangan suatu sekte menjadi denominasi. Untuk sementara, dapat dipastikan bahwa penganut gerakan reformis pada umumnya tidak berasal dari kalangan sosial yang marginal, namun justru dari orang Islam kota yang sedang naik posisi ekonomi dan status sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi proses akomodasi, saling menerima, antara kalangan reformis dan tradisional.
            Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang berpotensi menjadi "ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun yang akan meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut di Indonesia. Perbandingan antara gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas, terasa sangat tidak tepat. Orang Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan tersebut, barangkali), bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa sebetulnya perbedaan ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung kebenaran, sedangkan yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap dirinya sebagai pihak  yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana penilaian kita obyektif dalam hal ini?
            Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang yang marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak semua gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf wahdatul wujud terdapat pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan  pandai mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash untuk menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah dalam perdebatan dengan ulama yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya dalam pandangan mereka sendiri dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap "sempalan" karena mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental antara mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita catat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham dominan baru kira-kira lima abad belakangan![4]
  1. Klasifikasi gerakan sempalan
Untuk menganalisa fenomena gerakan sempalan secara lebih jernih, mungkin ada baiknya kalau kita merujuk kepada kajian sosiologi agama yang sudah ada untuk melihat apakah ada temuan yang relevan untuk situasi Indonesia. Hanya saja, karena sosiologi agama adalah salah satu disiplin ilmu yang lahir dan dikembangkan di dunia Barat, sasaran kajiannya lebih sering terdiri dari umat Kristen ketimbang penganut agama-agama lainnya. Oleh karena, itu belum tentu a priori temuannya benar-benar relevan untuk dunia Islam. Beberapa konsep dasar yang dipakai barangkali sangat tergantung pada konteks budaya Barat. Mengingat keterbatasan ini, biarlah kita melihat apa saja telah ditemukan mengenai muncul dan berkembangnya gerakan sempalan pada waktu dan tempat yang lain.
Dua sosiolog agama Jerman mempunyai pengaruh besar terhadap studi mengenai sekte selama abad ini, mereka adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal dengan tesisnya mengenai peranan sekte-sekte protestan dalam perkembangan semangat kapitalisme di Eropa, dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan karismatik. Troeltsch, teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber dalam studinya mengenai munculnya gerakan sempalan di Eropa pada abad pertengahan.[5] Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan dua jenis wadah umat beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja dan tipe sekte. Contoh paling murni dari tipe gereja barangkali adalah Gereja Katolik abad pertengahan, tetapi setiap ortodoksi (dalam arti sosiologis tadi) yang mapan mempunyai aspek tipe gereja. Organisasi- organisasi tipe gereja biasanya berusaha mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan. Sebagai wadah yang established (mapan), mereka cenderung konservatif, formalistik, dan berkompromi dengan penguasa serta elit politik dan ekonomi. Di dalamnya terdapat hierarki yang ketat, dan ada golongan ulama yang mengklaim monopoli akan ilmu dan karamah, orang awam tergantung kepada mereka.
Tipe sekte, sebaliknya, selalu lebih kecil dan hubungan antara sesama anggotanya biasanya egaliter. Berbeda dengan tipe gereja, keanggotaannya bersifat sukarela: orang tidak dilahirkan dalam lingkungan sekte, tetapi masuk atas kehendak sendiri. Sekte-sekte biasanya berpegang lebih keras (atau kaku) kepada prinsip, menuntut ketaatan kepada nilai moral yang ketat, dan mengambil jarak dari penguasa dan dari kenikmatan material. Sekte-sekte biasanya mengklaim bahwa ajarannya lebih murni, lebih konsisten dengan wahyu Ilahi. Mereka cenderung membuat pembedaan tajam antara para penganutnya yang suci dengan orang luar yang awam dan penuh kekurangan serta dosa. Seringkali, kata Troeltsch, sekte- sekte muncul pertama-tama di kalangan yang berpendapatan dan pendidikan rendah, dan baru kemudian meluas ke kalangan lainnya. Mereka sering cenderung memisahkan diri secara fisik dari masyarakat sekitarnya, dan menolak budaya dan ilmu pengetahuan sekuler.
            Selain sekte, Troeltsch menyoroti suatu jenis gerakan lagi yang muncul sebagai oposisi terhadap gereja (atau ortodoksi yang lain), yaitu gerakan mistisisme (tasawwuf). Sementara sekte memisahkan diri dari gereja karena mereka menganggap gereja telah kehilangan semangat aslinya dan terlalu berkompromi, gerakan- gerakan mistisisme merupakan reaksi terhadap formalitas dan "kekeringan" gereja. Gerakan mistisisme, menurut Troeltsch, memusatkan perhatian kepada penghayatan ruhani-individual, terlepas dari sikapnya terhadap masyarakat sekitar. (Oleh karena itu, Troeltsch juga memakai istilah "individualisme religius"). Penganutnya bisa saja dari kalangan establishment, bisa juga dari kalangan yang tak setuju dengan tatanan masyarakat yang berlaku. Mereka biasanya kurang tertarik kepada ajaran agama yang formal, apalagi kepada lembaga-lembaga agama (gereja, dan sebagainya). Yang dipentingkan mereka adalah hubungan langsung antara individu dan Tuhan (atau alam gaib pada umumnya).
Analisa Troeltsch ini berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah gereja di Eropa, dan tidak bisa diterapkan begitu saja atas budaya lain. Organisasi "tipe gereja" tidak terdapat dalam setiap masyarakat, tetapi tanpa kehadiran suatu gereja pun sekte bisa saja muncul. Ketika tadi saya bertanya "gerakan sempalan itu menyempal dari apa?", saya sebetulnya mencari apakah ada sesuatu wadah umat yang punya ciri tipe gereja, dalam terminologi Troeltsch. Ortodoksi Islam Indonesia seperti diwakili oleh MUI dan sebagainya, tentu saja tidak sama dengan Gereja Katolik abad pertengahan; ia tidak mempunyai kekuasaan atas kehidupan pribadi orang seperti gereja.
            Situasi di Amerika Serikat masa kini, sebetulnya, sama saja. Hampir-hampir tidak ada wadah tipe gereja versi Troeltsch, yang begitu dominan terhadap seluruh masyarakat. Yang ada adalah sejumlah besar gereja-gereja Protestan (sering disebut denominasi), yang berbeda satu dengan lainnya dalam beberapa detail saja, dan tidak ada di antaranya yang dominan terhadap yang lain. Denominasi-denominasi Protestan ini mempunyai baik ciri tipe sekte maupun ciri tipe gereja. Gerakan mistisisme, seperti yang digambarkan Troeltsch, beberapa dasawarsa terakhir ini sangat berkembang di dunia Barat dengan mundurnya pengaruh gereja. Para penganutnya seringkali dari kalangan yang relatif berada dan berpendidikan tinggi, bukan dari lapisan masyarakat yang terbelakang.[6]
Kajian berikut yang sangat berpengaruh adalah studi Richard Niebuhr, sosiolog agama dari Amerika Serikat, mengenai dinamika sekte dan lahirnya denominasi.[7] Teori yang diuraikan dalam karya ini sebetulnya agak mirip teori sejarah Ibnu Khaldun. Niebuhr melihat bahwa banyak sekte, yang pertama-tama lahir sebagai gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja (dan seringkali juga terhadap negara), lambat laun menjadi lebih lunak, mapan, terorganisir rapih dan semakin formalistik. Setelah dua-tiga generasi, aspek kesukarelaan sudah mulai menghilang, semakin banyak anggota yang telah lahir dalam lingkungan sekte sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit-bibit hierarki internal telah ditanam, kalangan pendeta- pendeta muncul, yang mulai mengklaim bahwa orang awam memerlukan jasa mereka. Dengan demikian bekas sekte itu sudah mulai menjadi semacam gereja sendiri, salah satu di antara sekian banyak denominasi. Dan lahirlah, sebagai reaksi, gerakan sempalan baru, yang berusaha menghidupkan semangat asli... dan lambat laun berkembang menjadi denominasi... dan demikianlah seterusnya.
            Teori Niebuhr ini sekarang dianggap terlalu skematis; sekte- sekte tidak selalu menjadi denominasi. Niebuhr bertolak dari pengamatannya terhadap situasi Amerika Serikat yang sangat unik; semua gereja di sana memang merupakan denominasi yang pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain. Siklus perkembangan yang begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Amerika Serikat terdiri dari para immigran, yang telah datang gelombang demi gelombang. Setiap gelombang pendatang baru menjadi lapisan sosial paling bawah; dengan datangnya gelombang pendatang berikut, status sosial mereka mulai naik. Pendatang baru yang miskin seringkali menganut sekte-sekte radikal; dengan kenaikan status mereka sekte itu lambat laun menghilangkan radikalismenya dan menjadi sebuah denominasi baru.
            Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger, merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte dan denominasi, bahwa sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte, tetap terpisah dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan permasalahan moral pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu berkaitan dengan dasar sosial kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung untuk merekrut anggotanya dari lapisan miskin dan tertindas. Dengan demikian hubungan sekte ini dengan negara dan denominasi yang mapan akan tetap tegang. Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk menarik penganut dari kalangan menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan, dan diterima dalam, status quo.[8] Pengamatan ini, agaknya, relevan untuk memahami perbedaan antara Al Irsyad atau Muhammadiyah di satu sisi dan sebagian besar gerakan sempalan masa kini di sisi lainnya.
Klasifikasi sekte dalam beberapa jenis dengan sikap dan dinamika masing-masing dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar.[9] Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.
            Tipe pertama adalah sekte conversionist, yang perhatiannya terutama kepada perbaikan moral individu. Harapannya agar dunia akan diperbaiki kalau moral individu-individu diperbaiki, dan kegiatan utama sekte ini adalah usaha untuk meng-convert, men- tobat-kan orang luar. Contoh tipikal di dunia Barat adalah Bala Keselamatan; di dunia Islam, gerakan dakwah seperti Tablighi Jamaat mirip tipe sekte ini.
            Tipe kedua, sekte revolusioner, sebaliknya mengharapkan perubahan masyarakat secara radikal, sehingga manusianya menjadi baik. Gerakan messianistik (yang menunggu atau mempersiapkan kedatangan seorang Messias, Mahdi, Ratu Adil) dan millenarian (yang mengharapkan meletusnya zaman emas) merupakan contoh tipikal. Gerakan ini secara implisit merupakan kritik sosial dan politik terhadap status quo, yang dikaitkan dengan Dajjal, Zaman Edan dan sebagainya. Gerakan messianistik, seperti diketahui, banyak terjadi di Indonesia pada zaman kolonial -- dan memang ada sarjana yang menganggap bahwa gerakan jenis ini hanya muncul sebagai reaksi terhadap kontak antara dua budaya yang tidak seimbang.[10]
            Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia sekitar tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau keselamatan ruhani penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson menyebut gerakan tipe ini introversionis. Gerakan Samin di Jawa merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi introversionis.
            Tipe keempat, yang dinamakan Wilson manipulationist atau gnostic ("ber-ma'rifat") mirip sekte introversionis dalam hal ketidakpeduliannya terhadap keselamatan dunia sekitar. Yang membedakan adalah klaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus, yang biasanya dirahasiakan dari orang luar. Untuk menjadi anggota aliran seperti ini, orang perlu melalui suatu proses inisiasi (tapabrata) yang panjang dan bertahap. Tipe ini biasanya menerima saja nilai-nilai masyarakat luas dan tidak mempunyai tujuan yang lain. Klaim mereka hanya bahwa mereka memiliki metode yang lebih baik untuk mencapai tujuan itu. Theosofie dan Christian Science merupakan dua contoh jenis sekte ini di dunia Barat. Di Indonesia, ada banyak aliran kebatinan yang barangkali layak dikelompokkan dalam kategori ini; demikian juga kebanyakan tarekat, yang mempunyai amalan-amalan khusus dan sistem bai'at.
            Tipe lainnya adalah sekte-sekte thaumaturgical, yaitu yang berdasarkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan atas alam gaib. Pengobatan secara batin, kekebalan, kesaktian, dan kekuatan "paranormal" lainnya merupakan daya tarik aliran-aliran jenis ini, dan membuat para anggotanya yakin akan kebenarannya. Di Indonesia, unsur-unsur thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan dan sekte Islam, seperti Muslimin-Muslimat (di Jawa Barat).
            Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi sosial dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah dan ibadah tanpa pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan sekte-sekte ini dari ortodoksi bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit, tetapi penekanannya kepada konsistensi dengan ajaran agama yang murni (termasuk yang bersifat sosial).
            Gerakan utopian, tipe ketujuh, berusaha menciptakan suatu komunitas ideal di samping, dan sebagai teladan untuk, masyarakat luas. Mereka menolak tatanan masyarakat yang ada dan menawarkan suatu alternatif, tetapi tidak mempunyai aspirasi mentransformasi seluruh masyarakat melalui proses revolusi. Tetapi mereka lebih aktivis daripada sekte introversionis; mereka berdakwah melalui contoh teladan komunitas mereka. Komunitas utopian mereka seringkali merupakan usaha untuk menghidupkan kembali komunitas umat yang asli (komunitas Kristen yang pertama, jami'ah Madinah), dengan segala tatanan sosialnya. Di Indonesia, kelompok Isa Bugis (dulu di Sukabumi, sekarang di Lampung) merupakan salah satu contohnya, Darul Arqam Malaysia dengan "Islamic Village"nya di Sungai Penchala adalah contoh yang lain.
  1. Gerakan sempalan Islam di Indonesia dan tipologi sekte
            Dalam tipologi sekte di atas ini, Wilson sudah menggambarkan suatu spektrum aliran agama yang lebih luas daripada spekrum gerakan sempalan Indonesia yang disebut di atas. Meski demikian, beberapa gerakan di Indonesia agak sulit diletakkan dalam tipologi ini. Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap dunia sekitar, namun terdapat berbagai gerakan di Indonesia yang tidak mempunyai sikap sosial tertentu dan hanya  membedakan diri dari "ortodoksi" dengan ajaran atau amalan yang lain.
            Satu tipe terdiri dari aliran-aliran kebatinan atau tarekat dengan ajaran yang "aneh", yang masih sering muncul di hampir setiap daerah. Sebagian aliran ini memang mirip sekte gnostic, dengan sistem bai'at, hierarki internal dan inisiasi bertahap dalam "ilmu" rahasia, sebagian juga memiliki aspek thaumaturgical, dengan menekankan pengobatan dan kesaktian, tetapi aspek thaumaturgical jarang menjadi intisari aliran tersebut seperti dalam gerakan pengobatan ruhani di Amerika Serikat.[11] Sebagian besar tidak mempunyai ciri sosial yang menonjol, tidak ada penolakan terhadap norma-norma masyarakat luas. Mereka tidak mementingkan aspek sosial dan politik dari ajaran agama, melainkan kesejahteraan ruhani, ketentraman dan/atau kekuatan gaib individu. Penganutnya bisa berasal dari hampir semua lapisan masyarakat, tetapi yang banyak adalah orang yang termarginalisir oleh perubahan sosial dan ekonomi.
            Suatu jenis lain terdiri dari gerakan pemurni, yang sangat menonjol dalam sejarah Islam: gerakan yang mencari inti yang paling asli dari agamanya, dan melawan segala hal (ajaran maupun amalan) yang dianggap tidak asli. Beberapa gerakan pemurni sekaligus adalah gerakan reform sosial, seperti Muhammadiyah, tetapi tidak semuanya berusaha mengubah masyarakat. Gerakan pemurni yang paling tegas di Indonesia, agaknya, Persatuan Islam (Persis). Dalam konteks ini perlu kita sebut kelompok yang dikenal dengan nama Inkarus Sunnah, karena mereka juga mengklaim ingin mempertahankan hanya sumber Islam yang paling asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan keasliannya hadits, dan menganggap hanya Qur'an saja sebagai sumber asli. Oleh karena itu, nama yang mereka sendiri pakai adalah Islam Qur'ani. Namun dalam kasus terakhir ini, saya tidak yakin apakah mereka layak disebut gerakan sempalan; mereka tidak cenderung untuk memisahkan diri dari ummat lainnya, dan saya belum jelas apakah mereka merupakan gerakan terorganisir.
Gerakan Islam Jama'ah alias Darul Hadits juga merupakan suatu kasus yang tidak begitu mudah digolongkan. Dengan penekanannya kepada hadits (walaupun yang dipakai, konon, hadits-hadits terpilih saja), gerakan ini mengingatkan kepada gerakan pemurni (ini mungkin menjelaskan daya tariknya bagi orang berpendidikan modern). Namun beberapa ciri jelas membedakannya dari gerakan pemurni atau pembaharu dan membuatnya mirip sekte manipulationist / gnostic. Dari segi organisasi internal, Islam Jama'ah mirip tarekat atau malahan gerakan militer, dengan bai'at dan pola kepemimpinan yang otoriter dan sentralistis (amir). Tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya, dan tidak ada cita-cita politik atau sosial tertentu. Unsur protes tidak terlihat dalam gerakan ini; mereka hanya sangat eksklusif dan menghindar dari berhubungan dengan orang luar. Faktor yang juga perlu disebut adalah kepemimpinan karismatik.[12] Pendiri dan amir pertama, Nur Hasan Ubaidah, dikenal sebagai ahli ilmu kanuragan dan kadigdayan yang hebat, dan dalam pandangan orang banyak, itulah yang membuat penganutnya tertarik dan terikat pada gerakan ini. Penganutnya pada umumnya tidak berasal dari kalangan bawah tetapi dari kalangan menengah; namun banyak diantara mereka, agaknya, pernah mengalami krisis moral sebelum masuk gerakan ini.
Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang sekarang juga sudah mempunyai cabang di Indonesia) sedikit mirip Islam Jama'ah; gerakan ini sangat tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari Muhammad. Tetapi sikap Darul Arqam terhadap dunia sekitar sangat berbeda: mereka ingin mengubah masyarakat dan menawarkan model alternatif, yang dicontohkan dalam "Islamic Village" mereka. Dengan kata lain, inilah suatu gerakan utopian; melalui dakwah aktif mereka terus mempropagandakan alternatif mereka. Kegiatan sosialnya terbatas pada kalangan mereka sendiri; selain usaha konversi (dakwah: memasukkan penganut baru), mereka tidak banyak berhubungan dengan masyarakat sekitar -- walaupun dalam praktek mereka masih tergantung pada masyarakat luar untuk pendapatan mereka. Hubungan di dalam kelompok, antara sesama anggota, hangat dan intensif; kontrol sosial dinatara mereka juga tinggi. Namun, mereka menjauhkan  diri dari ummat lainnya, sehingga sering dituduh terlalu eksklusif. Di samping sikap utopian ini, Darul Arqam juga merupakan gerakan messianis; mereka meyakini kedatangan Mahdi dalam waktu sangat dekat, dan mempersiapkan diri untuk peranan di bawah kepemimpinan Mahdi nanti.[13] Beberapa tahun terakhir ini aspek messianis ini telah menjadi semakin menonjol; gerakan ini lambat laun bergeser dari utopian menjadi revolusioner.
Gerakan yang lebih murni aspek utopiannya adalah yang disebut gerakan Usroh di Indonesia. Saya tidak yakin apakah ini memang suatu gerakan terorganisir, dengan kepemimpinan dan strategi tertentu. Kesan saya, gerakan ini adalah suatu trend, suatu pola perkumpulan yang cepat tersebar, tanpa banyak koordinasi antara sesama usroh. Ini memang suatu gerakan protes politik (walaupun perhatiannya terutama kepada urusan agama dalam arti sempit, tidak kepada isu- isu politik umum). Namun mereka tidak berharap mengubah tatanan masyarakat atau sistem politik secara langsung; para usroh ("keluarga") merupakan komunitas yang menganggap diri mereka sebagai alternatif yang lebih Islami.
            Ahmadiyah (Qadian), Baha'i dan Syi'ah tidak lahir  dari rahim kalangan umat Islam Indonesia sendiri, tetapi "diimport" dari luar negeri ketika sudah mapan. Ketiganya merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum masuknya ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis, namun kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan semangat awalnya. Pemimpin karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah, Duabelas Imam) tetap merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa. Dalam Syi'ah, semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah bagi para pengagumnya di Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai sekte reformis,[14] yang belakangan menjadi sangat introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i juga mempunyai beberapa penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal dari kalangan Islam, sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan sempalan Islam (seperti halnya di negara aslinya, Iran).
            Tiga gerakan ini memain peranan sangat berlainan di Indonesia, dan meraih penganut dari kalangan yang berbeda. Gerakan Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia mulai sebagai gerakan protes, baik terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama Sunni; pelopornya adalah pengagum revolusi Islam Iran. Kepedulian sosial (perhatian terhadap mustadl'afin) dan politik ditekankan. Dalam perkembangan berikut, penekanan kepada dimensi politik Syi'ah semakin dikurangi, dan minat kepada tradisi intelektual Syi'ah Iran ditingkatkan.[15] Dengan kata lain, gerakan Syi'ah Indonesia sudah bukan gerakan sempalan revolusioner lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Tetapi gerakan ini tetap berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir. Di antara semua gerakan sempalan masa kini, hanya gerakan Syi'ah yang agaknya mempunyai potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping gerakan pemurni dan pembaharu yang Sunni.







BAB III
PENUTUP

gerakan sempalan Islam di Indonesia biasanya tidak muncul di tengah-tengah kalangan umat, tetapi di pinggirannya. Sebagiannya mungkin bisa dilihat sebagai aspek dari proses pengislaman yang sudah mulai berlangsung enam atau tujuh abad yang lalu dan masih terus berlangsung. Sebagian juga (terutama gerakan yang "radikal") bisa dilihat sebagai "komentar" terhadap ortodoksi yang telah ada, dengan usul koreksi terhadap hal-hal yang dianggapnya kurang memadai. Selama dialog antara ortodoksi dan gerakan sempalan masih bisa berlangsung, fenomena ini mempunyai fungsi positif. Terputusnya komunikasi dan semakin terasingnya gerakan sempalan tadi mengandung bahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif lagi dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau dengan diam saja), ortodoksi sendiri merupakan salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.

Sumber Referensi:

Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"),  dalam:
http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/23/gerakan-sempalan-di-kalangan-ummat-islam-indonesia-latar-belakang-sosial-budaya/










[1] Istilah ini konon pertama kali dipakai oleh Abdurrahman Wahid sebagai pengganti kata “splinter group“, kata yang tidak mempunyai konotasi khusus aliran agama, tetapi dipakai untuk kelompok kecil yang memisahkan diri (menyempal) dari partai atau organisasi sosial dan politik. Untuk “splinter group” yang merupakan aliran agama, kata “sekte” lazim dipakai.

[2] Artikel ini berdasarkan makalah Martin van Bruinessen untuk seminar “Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia”, yang diselenggerakan oleh Yayasan Kajian Komunikasi Dakwah di Jakarta, 11 Februari 1989, kemudian diperbaiki dengan masukan dari diskusi dengan para peserta program S-2 di IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) yang ikut kuliah bersamanya tentang Sosiologi Agama.
[3] Martin van Bruinessen Dalam :
http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/23/gerakan-sempalan-di-kalangan-ummat-islam-indonesia-latar-belakang-sosial-budaya/

[4] Seperti diketahui, Syi’ah Itsna’asyariyah sekarang merupakan ortodoksi di Iran. Namun sampai abad ke-10 hijriyah (abad ke-16 Masehi), mayoritas penduduk Iran masih menganut madzhab Syafi’i. Faham ini baru menjadi dominan  setelah dinasti Safawiyah memproklamirkan Syi’ah sebagai agama resmi negara dan mendatangkan ulama Syi’i dari Irak Selatan.
[5] Ernst Troeltsch, The Social Teachings of the Christian Churches. London, 1931 (aslinya diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1911). Lihat juga pengamatan Weber tentang sekte-sekte protestan di Amerika Serikat: "Sekte-sekte protestan dan semangat kapitalisme", dalam Taufik Abdullah, editor, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979, hal. 41-78.

[6] Pengamatan tajam dan menarik tentang fenomena sekte dan mistisisme di Amerika Serikat masa kini (dengan analisa yang bertolak dari tipologi Troeltsch) terdapat dalam: Robert Bellah dkk, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life. New York: Harper & Row, 1986, khususnya hal. 243-8.
[7] H. Richard Niebuhr, The Social Sources of Denominationalism. New York: Holt, 1929
[8] Lihat: J. Milton Yinger, Religion, Society and the Individual. New York: MacMillan Co., 1957, khususnya hal. 147-55.
[9] Salah satu tulisannya, "Tipologi sekte", telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam: Roland Robertson (ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1988, hal. 431-462. Sayangnya, terjemahannya mengandung banyak kesalahan sehingga tulisan ini sulit difahami. Untuk lebih lengkap dan jelas, lihat bukunya Sects and Society (Heinemann / California University Press, 1961).

[10] Beberapa tulisan Sartono Kartodirdjo merupakan kajian penting tentang gerakan millenarian di Indonesia, antara lain "Agrarian Radicalism in Java: its Setting and Development", dalam: Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972, hal. 71-125. Teori umum dan beberapa kasus penting dibahas dalam: Michael Adas, Prophets of Rebellion: Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order. University of North Carolina Press, 1979 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali 1988).
[11] Ada pengamatan menarik bahwa beberapa aliran kebatinan pada zaman revolusi mengembangkan latihan kesaktian (silat dengan tenaga dalam, "ilmu kontak", kekebalan dan sebagainya), yang pada masa kemudian dianggap terlalu kasar dan digantikan dengan latihan kejiwaan yang lebih halus. Lihat: Paul Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism, Ph.D. thesis, University of Wisconsin, Madison, 1980, bab 5. Berbagai tarekat juga (terutama Qadiriyah) menunjukkan aspek thaumaturgical pada masa revolusi, yang kemudian ditinggalkan lagi.

[12] istilah karismatik di sini dalam arti asli kata: baik pemimpin karismatik maupun pengikutnya percaya bahwa ia dianugerahi karamah atau kesaktian.
[13] Mereka menganggap almarhum Syeikh Muhammad bin Abdullah Suhaimi (seorang muslim Jawa di Singapura, mantan guru dari Ustaz Ashaari Muhammad) sebagai Mahdi. Walaupun sudah meninggal dunia, beliau diharapkan akan datang dalam waktu dekat. Syeikh Suhaimi konon telah bertemu dengan Nabi dalam keadaan jaga, dan menerima Aurad Muhammadiyah, yang diamalkan Darul Arqam, dari Beliau. Lihat: Ustaz Hj. Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Pegangan Darul Arqam. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1986; juga: Ustaz Ashaari Muhammad, Inilah pandanganku. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1988
[14] Ahmadiyah pernah memainkan peranan penting dalam proses pengislaman (atau "pen-santri-an") kaum terdidik di Indonesia pada masa penjajahan. Dalam Jong Islamieten Bond dan Sarekat Islam pengaruhnya sangat berarti. Baru setelah organisasi modernis lainnya berkembang terus, Ahmadiyah menghilangkan fungsinya sebagai pelopor reformisme dan rasionalisme dalam Islam. Berkembangnya kritik semakin keras terhadap faham kenabian Ahmadiyah Qadian bisa dilihat sebagai simptom konsolidasi ortodoksi Islam di Indonesia.
[15] Pergeseran ini, antara lain, terlihat dalam urutan terjemahan karya penulis Syi'ah: Ali Syari'ati disusul oleh Murtadha Muthahhari dan kemudian Baqir Al-Shadr. Khomeini pertama-tama dilihat sebagai pemimpin revolusi saja, kemudian juga sebagai ahli 'irfan (tasawwuf dan metafisika). Sekarang diskusi-diskusi lebih sering berkisar sekitar filsafat atau persoalan 'ishmah (apakah para Imam Duabelas ma'shum?) daripada situasi politik Iran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar