Minggu, 28 April 2013

TATACARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Perkawinan bukan hanya jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Tetapi perkawinan dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu perkenalan suatu kaum dengan yang lain,serta menjadi jalan penguat untuk saling tolong menolong antar satu dengan yang lain.[1]

Sebenarnya pernikahan pertalian yang sangat erat dalam hidup dan kehidupan manusia. Bukan saja antara suami istri dan keturunannya melainkan kedua belah keluarga , bagaimana tidak, pergaulan yang baik antara suami istri , kasih mengasihi, akan tersebar pada kedua belah keluarga. Sehingga mereka akan menjadi satu dalam berbagai urusan, saling tolong menolong, dan terhindar dari kejahatan, selain karena itu perkawinan pula dapat memelihara sesorang dari terjerumus pada hawa nafsunya.

Dalam makalah yang singkat ini akan dibahas bagai mana islam mengatur tatacara pernikahan antara seorang individu dengan yang lain. 


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Nikah

Secara bahasa (etimologi), nikah berarti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath’i). dalam istilah bahasa Indonesia, nikah sering disebut dengan kawin.

Dalam pasal 1 Bab I, UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan/pernikahan di definisikan sebagai berikut :
”perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pernikahan atau perkawinan adalah ”ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntunan agama.” ada juga yang mengartikan : ”suatu perjanjian atau aqad (ijab & Qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat islam.”[2]

Ijab ialah suatu pernyataan berupa penyerahan dari seorang wali perempuan atu wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun yang ditentukan oleh syara.

Qabul ialah suatu pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau wakilnya sebagaimana dimaksud diatas.

  1. Anjuran Menikah

Firman Allah SWT.

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Artinya :
maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa : 3)[3]


Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. ar Ra’d:38

Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman.” (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh adz Dzahabi)[4]

Sabda Nabi SAW ;

يَا عَلِيُّ ثَلَاثٌ لَا تُؤَخِّرْهَا الصَّلَاةُ إِذَا آنَتْ وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدْتَ لَهَا كُفْئًا

“Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu menunda pelaksanaannya, yaitu shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya.”
HR. Tirmidzi

  1. Hukum pernikahan

Hukum pernikahan ada lima :

a)      Jais (diperbolehkan), ini asal hukumnya
b)      Sunnat, Bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah dan lain-lain)
c)      Wajib, atas orang cukup mempunyai belanja dan ia takut akan tergoda kepada kejahatan (zina)
d)     Makruh, terhadap orang yang tidak mampu memberi nafkah
e)      Haram, kepada orang yang berniat akan menyakiti pasangannya.[5]


  1. Khitbah

  1. Pengertian dan hukum khitbah

Yang dimaksud dengan khitbah adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya dengan cara yang baik.

Sedangkan hukumnya adalah boleh (mubah) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
  1. perempuan yang akan dipinang harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1)      tidak terikat oleh akad pernikahan
2)      tidak berada dalam masa iddah talak raj’i
3)      bukan pinangan laki-laki lain.

Rasulullah SAW. Bersabda :
”Seorang mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Oleh karena itu ia tidak boleh membeli atau menawar sesuatu yang sudah di beli/ditawar saudaranya, dan ia tidak boleh meminang seseorang yang sudah dipinang saudaranya. Kecuali ia telah dilepasnya.’
(Mutafaq ’Alaih)

  1. Cara mengajukan pinangan

1)      Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya boleh dinyatakan secara terang-terangan.
2)      Pinangan kepada janda yang masih dalam thalaq ba’in atau iddahditinggal wafat suaminya, tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran saja.

Allah SWT. Berfirman :

فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةالنِّسَاءِ أَوْ ِ وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ


”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.” (QS. Al-baqarah :235)


  1. Rukun dan Syarat Nikah

Pernikahan dianggap sah jika rukun nikah dan syarat-syaratnya telah terpenuhi. Rukun nikah terdiri dari lima :

1)            Calon suami, dengan syarat sebagai berikut:

a)      Muslim
b)      Merdeka
c)      Berakal
d)     Benar-benar laki-laki
e)      Adil
f)       Tidak beristeri empat
g)      Tidak mempunya hubungan makhram dengan calon istri
h)      Tidak sedang berikhram haji atau umrah

2)            Calon Istri, dengan syarat sebagai berikut:

a)      Muslimah
b)      Benar-benar perempuan
c)      Telah mendapat ijin dari walinya
d)     Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah
e)      Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami
f)       Tidak sedang berikhram haji atau umrah

3)            Shighat (ijab dan qabul), dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a)      Lafadz ijab dan qabul harus harus lafadz nikah dan tazwij
b)      Lafadz ijab dan qabul bukan kata-kata kinayah (kiasan)
c)      Lafadz ijab dan qabuk tidak boleh dita’likan (dikaitkan) dengan suatu syarat tertentu, seperti : ”Aku nikahkah engkau dengan anakku dengan syarat engkau segera membangun rumah. . . dst.”
d)     Lafadz ijab qabul harus terjadi pada suatu majlis. Maksudnya lafadz qabul    harus segera diucapkan setelah ijab.

4)            Wali calon pengantin perempuan, dengan syarat sebagai berikut:

a)      Muslim
b)      Berakal
c)      Tidak fasik
d)     Laki-laki
e)      Mempunya hak untuk menjadi wali

5)            Dua orang saksi, dengan syarat sebagai berikut:

a)      Muslim
b)      Baligh
c)      Berakal
d)     Merdeka
e)      Laki-laki
f)       Adil
g)      Pendengaran dan penglihatannya sempurna
h)      Memahami bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul
i)        Tidak sedang mengerjakan ikhram haji dan umrah[6]



  1. Wali, Saksi, Ijab, Qabul, dan Walimah

1)      Pengertian Wali dan Saksi

Wali adalah oarang yang berhak menikahkan perempuan dengan laki-laki sesuai dengan syariat islam. Sedangkan saksi adalah oarang yang menyaksikan dengan sadar pelaksanaan ijab qabul dalam prnikahan.
Wali dalam pernikaha memiliki kedudukan yang sangat penting, bahkan dapat menentukan sah tidaknya pernikahan.


2)      Persyaratan Wali dan saksi

a)      persyaratan Wali

Wali calon pengantin perempuan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  • laki-laki
  • muslim
  • baligh
  • berakal
  • tidak fasik
  • memiliki hak untuk menjadi wali

b)      persyaratan saksi

dalam pernikahan harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dengan syarat sebagai berikut:
  • muslim
  • baligh
  • berakal
  • merdeka
  • laki-laki
  • adil
  • pendengaran dan englihatanya sempurna
  • memahami bahasa yang diucapkan dalam ijab kabul
  • tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah.

3)      Ijab Qabul

Ijab qabul adalah ucapan penyerahan yang dilakukan oleh wali mempelai perempuan dan penerimaan oleh mempelai laki-laki. Ijab Qabul merupakan ucapan yang dianggap sakral, karena dapat menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan yang asalnya haram.

Tekhnik ijab qabul bisa diawali dengan penyerahan dari wali perempuan yang kemudian diterima oleh pengantin laki-laki, atau diawali dengan permintaan dari ihak pengantin laki-laki yang kemudian diterima dan diserahkan oleh pihak wali perempuan. Contoh kalimatnya sebagai berikut:

Wali perempuan :”saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama.............dengan maskawin.................tunai.”
Mempelai Laki-laki : ”saya terima nikahnya.............binti.............dengan maskawin..........tunai.”

Atau

Mempelai laki-laki: ”nikahkanlah saya dengan...........binti..........dengan maskawin..........tunai.”
Wali perempuan : ”saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama ........... dengan maskawin...........tunai.”

4)      Walimah

Walimah makna asalnya adalah : ”makanan dalam pernikahan” dalam pengertian bahasa berarti ”pesta”,”kenduri”, atau ”resepsi”. Walimah nikah adalah pesta yang diselenggarakan setelah dilaksanakanya akad nikah dengan dihidangkannya berbagai jamuan yang biasanya disesuaikan dengan adat setempat. Selain Sebagai tanda syukur juga bertujuan untuk memberitahukan kepada kerabat ,sanak famili,dan handai taulan bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri. Sehingga terhindar dari fitnah karena ketidak tahuan.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum walimah adalah sunnah muakkadah,hal ini disandarkan pada hadits nabi SAW.:
Yang artinya : ” rasulullah SAW. Bersabda kepada Abdurrahman bin Auf. Adakanlah walimah, sekalipun hanya memotong seekor kambing.”
(muttafaq ’alaih)

  1. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Secara garis besar, hak dan kewajiban suami istri dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : kewajiban suami, kewajiban istri,dan kewajiban bersama.

1)            kewajiban suami (hak istri)


§  membayar mahar
§  memberikan nafkah dengan ma’ruf (baik), baik berupa sandang, pangan, papan, kesehatan,dll.
§  Menggauli istri dengan ma’ruf, yaitu dengan cara-cara yang yang penuh kasih sayang karena Allah ta’ala.
§  Memimpin keluarga,sehingga menjadi keluarga yang harmonis
§  Mendidik dan membimbing seluruh anggota keluarga kejalan yang benar
§  Adil dan bijaksana terhadap anggota keluarga.

2)            kewajiban istri (hak suami)

  • menaati suami jika meminta atau memerintah, kecuali memerintah pada keburukan.
  • Menjaga diri dan kehormatan keluarga
  • Menjaga harta kepunyaan suami
  • Mengatur rumah tangga
  • Mendidik anak

3)            kewajiban bersama

  • menjaga nama baik seluruh anggota keluarga
  • menghormati dan berbuat baik kepada keluarga keduanya
  • memelihara kepercayaan diri dan menyimpan rahasia rumahtangga dan memelihara keutuhannya.
  • Mewujudkan pergaulan yang serasi, rukun, damai, dan sling pengertian.
  • Memelihara dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang
  • Memaafkan kesalahan yang lain
  • Sadar dan menyadari kekurangan yang ada pada diri masing-masing
  • Bijaksana dalam memecahkan masalah keluarga.


                   VIII.            Hikmah Pernikahan

  1. Hikmah pernikahan bagi individu dan keluarga

a)      Terwujudnya kehidupan yang tentram, karena terjalinnya cinta dan kasih sayang diantara sesama.
Firman allah :

Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

a)      terhindar dari perbuatan maksiat, terutama perbuatan masturbasi, perzinahan, dan pemerkosaan.
b)      nikah merupakan jalan yang baik untuk mendapatkan keturunan yang baik dan mulia sekaligus merupakan upaya menjaga kelangsungan hidup manusia sesuai dengan ajaran agama.
c)      dengan nikah dan kemudian mempunyai anak naluri kebapakan dan naluri keibuan akan tumbuh dan berkembang saling melengkapi.
d)     nikah dapat mendorong seseorang,terutama laki-laki untuk bersungguh-sungguh dalam mencari rizki yang banyak dan halal karena tanggung jawabnya.
e)      pemperluas persaudaraan
f)       mendatangkan keberkahan[7]

2.            Hikmah pernikaha bagi masyarakat

a)      Terjaminnya ketenangan dan ketentraman anggota masyarakat. Karena masyarakat dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat akibat dorongan naluri seksual yang tidak tersalurkan kejalan yang benar dan halal
b)      Dapat meringankan beban masyarakat, karena semakin banyaknya jumlah keluarga dalam masyarakat maka tingkat kebersamaanya akan semakin tinggi, terutama dalam bidang pembangunan fisik.
c)      Dapat memperkokoh tali persaudaraan dan memperteguh kelanggengan rasa cinta dan kasih sayang dan tolong-menolong antar keluarga dalam masyarakat.


Wallahu a’lamu bissawwab_


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’anul Kariim.

Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.1996

Qasim al-Ghizzi, Muhammad. Fat-hul Qarib (terjemahan), Trigenda Karya:1995

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Attahiriyah : Jakarta 1976

Suparta, HM. Dan Zaenuddin,Djedjen. Fiqih MA kls.2. PT, Karya Toha Putra : Semarang. 2005
HaditsWeb Kumpulan & Referensi Belajar Hadits, Al-Qur’an dan terjemahnya, http:// opi.110mb.com



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,Jakarta: attahiriyah 1976, hlm. 355

[2] H.M. Suparta dan djedjen zainuddin, Fiqih MA Kls. 2, Semarang : PT. Karya Toha Putra,2005,hlm.72
[3] HaditsWeb Kumpulan & Referensi Belajar Hadits, Al-Qur’an dan terjemahnya, http:// opi.110mb.com
[5] Sulaiman.hlm. 362
[6] Suparta,hal.81-82
[7] Ibid,hal 83-86

AT-TA’MIN (ASURANSI) dan AT-TAKAFUL (TOLONG MENOLONG)



Makalah
AT-TA’MIN (ASURANSI) dan AT-TAKAFUL (TOLONG MENOLONG)

BAB II
PEMBAHASAN

A.     AT – TA’MIN (ASURANSI)
II.I. Pengertian dan Ciri Asuransi Konvensional
Kata Asuransi brasal dari bahasa belanda, assurantie, yang dalam hukum belanda disebut Verzkering yang artinya Pertanggungan. Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul Istilah Assuradeur bagi Penanggung, dan Geassureerde bagi tertanggung.[1]
Banyak Definisi tentang Asuransi konvensional. Menurut Robert I. Mehr,[2] Asuransi adalah a device for reducing risk by combining a sufficient number predictable loss in then shared by or distributed proportionately among all units in the combination (Suatu alat untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar krugian individu secara koloektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprdiksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara proporsinal diantara semua unit-unit dalam gabungan tersebut).
Mark R. Greene[3] mendefinisikan asuransi sebagai an economic institution that reduces risk by combining under one managenent and group of objects so situated that the aggregate accidental losses to wich the group is subject become perdictable within narrow limits (institusi ekonomi yang mengurangi resiko dengan menggabungkan dibawah satu manajemen dan kelompok objek dalam suatu kondisi sehingga kerugian besar yang terjadi yang diderita oleh suatu kelompok yang tadi dapat diprediksi dalam lingkup yang lebih kecil). Sedangkan C Artur williams Jr. dan Ricardo M. Heins[4] melihat asuransi dari dua sudut pandang, pertama adalah Asurance is the protection against financial lossby by an insurer (Asuransi adalah perlindungan terhadap risiko financial oleh penanggung). Sedngkan, kedua adalah insurance is a device by means of which the risks of two or  more persons or firms are combined through actual or promised contributions to a fund out of which claimants are paid (Asuransi adalah alat yang mana dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk membayar klaim).
Definisi asuransi sebetulnya bisa diberikan dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hokum,bisnis,social,ataupun berdasarkan pengertian matematika. Itu berarti bisa lima definisi bagi asuransi. Tidak ada satu definisi yang bisa memenuhi masing-masing sudut pandang tersebut. Asuransi merupakan bisnis yang unik, yang didalamya terdapat kelimanya aspek tersebut, yaitu aspek ekonomi, hukum, sosial, bisnis, dan aspek matematika.[5]
Secara baku, definisi asuransi di indonesia telah di tetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,[6] ” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Atau, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung , yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.” Sedangkan, ruang lingkup usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.
Kemudian Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah[7]:
a)        Akad asurasi konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
b)        Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
c)        Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
d)        Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
II.II. Pengertian dan Ciri Asuransi Syariah
Dalam bahasa arab asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min[8], at-ta’min diambil dari kata amana memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut,[9] Sebagaimana firman allah SWT.
“Dialah allah yang mengamankan mereka dari ketakutan.”(Quraisy : 4)
Menurut Musthafa Ahmad Zarqa[10] Makna asuransi secara istilah adalah kejadian. Adapun metodologi dan gambarannya dapat berbeda-beda, namun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.
Husain Hamid Hisan[11] mengatakan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut. Mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah. Dengan demikian, asuransi adalah ta’awun yang terpuji. Yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan taqwa. Dengan ta’awun mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.
Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sebagai berikut[12]:
a)       Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
b)       Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
c)        Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
d)       Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
e)        Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
II.III. Perbandingan Antara Asuransi Syariah dan Konvensional
1)                     Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sebagai berikut:
a)            Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
b)            Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
c)             Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
d)            Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
2)              Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
a)            Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
b)            Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
c)             Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
d)            Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
e)             Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
f)               Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
II.IV. Manfaat asuransi syariah.
Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
a)        Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
b)        Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
c)         Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
d)        Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
e)         Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
f)           Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
g)         Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
h)         Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).

B.             AT-TAKAFUL (TOLONG MENOLONG)
Istilah lain dari asuransi syariah adalah at-takaful. Kata takaful berasal dari takafala – yatakafalu, yang secara etimologi berarti menjamin atau saling menanggung. Kata takaful[13] sebenarnya tidak dijumpai dalam al-qur’an, namun ada sejumlah kata yang seakar dengan takaful, seperti dalam surat tahaa ayat 40, ”Idz tamsyi Ukhtuka fataquulu hal adullukum ‘alaa mayak fuluhu.” (ketika saudaramu wanita musa berjalan lalu berkata kepada fir’aun, ‘bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang memeliharanya.’)”. pengertian memelihara manusia dalam hal ini adalah bayi musa.
Yakfulu dapat juga diartikan menjamin, seperti dalam surah an-nisa ayat 85, “waman yasyifa ‘syafa atan sayyiatan yakun lahu rifkun munha.” (barang siapa yang memberi syafaat (melindungi hak-hak orang dari kemudharatannya) yang buruk niscaya ia akan memikul (resiko) bagian daripadanya.) secara istilah menurut KH Latif Mukhtar, MA.[14] Mungkin istilah at-takaful berasal dari fikrah atau konsep Syekh Abu Zahra, Seorang fakih di mesir yang menulis buku Takaful Al-Ijtima’i Al-Islam (Sosial Security in Islam atau Jaminan sosial dalam islam).
Takaful[15] dalam pengertian muamalah ialah saling memikul resiko diantara sesama orang sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana Tabarru’ dana ibadah, sumbangan, derma yang ditunjukkan untuk menanggung resiko. Takaful dalam pengertian ini sesuai dengan al-qur’an’
“Dan Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (TQS. Al-Maidah : 2)
                Menurut Syekh Abu Zahrah;[16]yang dimaksud dengan attakaful al-ijtima’i itunialah bahwa setiap individu suatu masyarakat berada dalam jaminan atau tanggungan masyarakatnya. Setiap orang yang memiliki kemampuan menjadi penjamin dengan suatu kebajikan abgi setiap potensi kemanusiaan dalam memasyarakat sejalan dengan pemeliharaan kemaslahatan individu yakni, dalam hal menolak yang merusak dan memelihara yang baik agar terhindar dari berbagai kendala pembangunan masyarakat dibangun diatas dasar-dasar yang benar. Ungkapan yang paling tepat untuk makna attakaful al-ijtima’i kata syekh abu zahra ialah sabda nabi SAW.,
“Mukmin Terhadap Mukmin yang lain seperti bangunan memperkuat satu sama lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan, apabila salahsatu anggota badan itu menderita sakit maka seluruh badan merasakannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
                Takaful dalam pengertian Muamalah diatas, ditegakkan diatas tiga prinsip dasar.[17]
a)                                Saling Bertanggung jawab.
Banyak Hadits Nabi SAW. Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang mengajarkan Bahwa hubungan orang-orang yang beriman dalam jalinan rasa kasih sayang satu sama lain, ibarat satu badan, bila satu bagian tubuh sakit, maka seluruh anggota tubuh akan turut merasakan penderitaan.
“Setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang dibawah tanggung jawab kamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Tidak sempurna keimanan seorang mukmin sehingga ia menyukai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia menyukai sesuatu itu untuk dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
b)             Saling Bekerjasama dan Saling Membantu
Allah SWT Memerintahkan agar dalam kehidupan bermasyarakat ditegakkan nilai tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa, sebagaimana Firman-Nya.:
“....Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan...” (TQS. Al-Maidah : 2)
       Hadits Nabi SAW. Mengajarkan bahwa orang yang meringankan kebutuhan hidup saudaranya akan diringankan kebutuhannya oleh allah. Allah akan menolong hambanya selagi ia menolong saudaranya.
c)                   Saling Melindungi
Hadits Nabi SAW. Mengajarkan bahwa belum sempurna keimanan seseorang yang dapat tidur dengan nyenyak dengan perut kenyang sedangkan tetangganya menderita kelaparan.
“Orang muslim adalah orang yang memberikan keselamatan kepada sesama muslim dari gangguan perkataan dan perbuatan.”
       Dasar pijak Takaful dalam asuransi mewujudkan hubungan manusia yang islami diantara para pesertanya yang sepakat untuk menanggung bersama diantara mereka atas resiko yang diakibatkan musibah yang diderita oleh peserta sebagai akibat dari kebakaran, kecelakaan, kehilangan, sakit, dan sebagainya.
       Semangat asuransi takaful adalah menekankan kepada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara peserta. Persaudaraan disini meliputi dua bentuk : Persaudaraan berdasarkan kesamaan keyakinan (ukhuwah islamiyah) dan persaudaraan atas dasar kesamaan derajat manusia (ukhuwah insaniyah).[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpualan
Kata Asuransi (konvensional) berasal dari bahasa belanda, assurantie, yang dalam hukum belanda disebut Verzkering yang artinya Pertanggungan. Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul Istilah Assuradeur bagi Penanggung, dan Geassureerde bagi tertanggung.
Dalam bahasa arab asuransi (Syariah) disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min, at-ta’min diambil dari kata amana memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.
Asuransi konvensional dan syariah memiliki beberapa perbedaan dan persamaan, namun asuransi memiliki manfaat yang jauh lebih banyak ketimbang asuransi konvensional, disamping tidak memiliki pertentangn dengan hukum dan kaidah agama.
Sedangkan at-takaful adalah nama lain dari asuransi syariah, yang didalamnya memiliki tiga prinsip dasar, yaitu :
a)      Saling Bertanggung jawab.
b)      Saling Bekerjasama dan Saling Membantu, serta
c)       Saling Melindungi.
Wallahu a’lamu._
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah Muhammad, At-Takaful Al-Ijtima’i Fil Islam. 1964. Darul Qaumiyah Lil Tiba’ah Wal Nasyir. Kairo, 1964.
Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Islam, dalam Menggagas Fiqih Sosial. Mizan, Bandung. 1994
Ali Yafie, Fiqih Perdagangan Bebas, BSM – Teraju, Jakarta, 2003
C . Arthur Williams Jr. And Richard M. Heins. Risk Management and Insurance, Fifth Edition, LOMA,1987
DAI, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 dan Peraturan Pelaksanaan Tentang Usaha Perasuransian, Edisi 2003.
Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta,2000.
Herman Darmawi, Manajemen Resiko, Bumi Aksara, Jakarta,1999.
Juhaya S Praja. Asuransi Takaful.Pranata. Edisi I,1994
Juhaya S Praja, Daya Saing Asuransi Takaful Menuju Era Liberalisasi Ekonomi. Makalah Seminar Asuransi Islam, FMIPA Unpad, Tanggal 11 Pebruari 1995.
Latif Abdul Mahmud Al Mahmud, At Ta’min Al Ijtima’i Fi Dhanu’i As-Syari’ah Al-Islamiyah, Dar An Nafais, Beirut,1994.
Mark R. Greene, Life and Health Insurance Companiea As Financial Institutions, LOMA; 1995.
Muhammad Syakir Sula. Konsep Asuransi dalam Islam. Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Fi Zhilal Al-Qur’an Jatinangor, Bandung, Desember 2006
Robert I Mehr, Life Insurance Theory and Practice,Business Publication Inc. 1985.
Salim Segaf al-jufri. Ar-Riba Wa Adhraruhu alal Mujtama’ Al-islami, 1400 H.
Syarikat Takaful Malaysia, Buku panduan Pendirian Syarikat Takaful Malaysia, 1984.



[1] KH Ali Yafie, Asuransi dalam pandangan syariat islam, Menggagas fiqih sosial , penerbit Mizan,Bandung,1994, hlm.205-206. lihat juga Emmy P Simanjuntak. Hukum Pertanggungan, UGM. Yogyakarta. 1982,hlm. 7.
[2] Robert I Mehr, Life Insurance Theory and Practice, 1985. Business Publication Inc
[3] Mark R Greene, Life and Health Insurance Compaines as Financial Institutions, 1984. LOMA
[4] C. Artur Williams Jr. and Ricard M. Heins,risk manajemen and insurance, fifth edition, 1987. Mc. Graw-Hill Book Company, hlm. 214-215.
[5] Herman Darmadi, Manajemen Asuransi,2000, Bumi Aksara,Jakarta,hlm.2-3.
[6] Dewan Asuransi Indonesia, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 dan Peraturn Pelaksanaan Tentang Usaha Perasuransian, Edisi 2003, DAI, hlm. 2-3
[7] http//: www.rumaysho.com
[8] Jubran Ma’mud, Ar-Ra’id, Mu’jam Lughawy ‘Ashry, Beirut, Daar Al-Islami Li Al Malayin, t.t jilid I. Hal.30
[9] Salim Segaf al-jufri. Ar-Riba Wa Adhraruhu alal Mujtama’ Al-islami,1400 H, hlm.219
[10] Musthafa Ahmad Zarqa, Al-Ightishadi Al-Islamiyah – Nidzomutta’min......., Beirut. Dar Al-Fiqr,1968.
[11] Husain Hamid Hisan, Hukmu asy-Syari’ah al-Islamiyyah Fii ‘Uquudi at-Ta’miin, Daru al-isham. Kairo,hlm.2
[12] Ibid. http//: www.rumaysho.com
[13] Juhaya S Praja. Asuransi Takaful.Pranata. Edisi I,1994
[14] Latif Mukhtar, Gerakan Kembali Keislam. Rosda. Bandung. 1998. Hlm. 127
[15] Muhammad Syakir Sula,Konsep Asuransi Dalam Islam. PPM Fi Zhilal. Bandung. 1996. Hlm.1
[16] Abu Zahrah Muhammad, At-Takaful Al-Ijtima’i Fil Islam. 1964. Darul Qaumiyah Lil Tiba’ah Wal Nasyir. Kairo.
[17] Syarikat Takaful Malaysia. Panduan Syarikat Takaful Malaysia. 1984. Hlm. 11 - 15
[18] Juhaya S Praja, Daya Saing Asuransi Takaful Menuju Era Liberalisasi Ekonomi, Makalah Seminar Asuransi Islam. FMIPA Unpad, Tgl 11 Februari 1995.